AKSI MASYARAKAT DALAM MENANGGAPI
FENOMENA KERAWANAN SOSIAL DENGAN TINDAKAN
MAIN HAKIM SENDIRI (eigenrichting)
Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian
Akhir Semester Mata Kuliah
“Sosiologi Hukum”
yang diampu oleh Bapak Miftahus Sholehudin, M.HI.
disusun oleh:
Siti Maryam (14220106)
JURUSAN HUKUM
BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UINVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015
__________________________________________________________________________________
Siti Maryam (14220106)
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail: sitimaryam5696@gmail.com
ABSTRAK: Aktivitas warga masyarakat dalam menanggapi fenomena kerawanan sosial
mencakup banyak hal, seperti meningkatkan siskamling, ronda dan membentengi
perumahan atau pemukiman dengan tembok-tembok yang tinggi dan membayar warga
yang telah menjaga keamanan kampung atau pemukiman. Pembahasan ini sangat
penting untuk mengetahui seperti apa respon warga masyarakat dalam menanggapi
fenomena kerawanan sosial yang dihadapi. Hasil penelitian yang dilakukan
melalui media komunikasi wawancara, dengan adanya pengawasan dan penjagaan yang
ketat akan mengantisipasi terjadinya kerawanan sosial seperti pencurian dan
lain seba gainya. Sebab, terjadinya pencurian ataupun asusila dikarenakan warga
masyarakat juga yang kurang tegas dalam mengatur keamanan masyarakat.
Kata Kunci: Aktivitas warga, fenomena, masyarakat, kerawanan, sosial, main hakim
sendiri.
Sebagaimana diketahui, bahwa dewasa ini semakin banyak tindakan dan
perbuatan main hakim sendiri khususnya di negara indonesia ini. Dengan
demikian, perlu adanya tindakan warga masyarakat dalam menanggapi fenomena
kerawanan sosial tersebut. Dari sini perlu kita rumuskan apa sebab-sebab
timbulnya fenomena kerawanan sosial tersebut dan tindakan warga dalam
menanggapinya.
Kadang, fenomena di atas juga terjadi bukan karena warga lalai atau
kurangnya pengawasan dilingkungan, tetapi pelaku kejahatan tersebut nekat dan
bahkan sampai membunuh siapa saja yang menghalangi tujuannya. Faktor inilah
yang memicu adanya tindakan main hakim sendiri dari warga masyarakat. Dalam
kondisi seperti itulah kita mendapati tindakan warga dalam memperketat keamanan
yang tegas terhadap penjarah, seperti dalam berita-berita yang sering
menampilkan adanya para warga yang memukuli pelaku kejahatan, bahkan ada maling
yang belum sempat mencuri tetapi sudah ketahuan tetap saja dipukuli sampai
babak belur bahkan meninggal.
Di saat seperti itu, kemanakah perginya penegak hukum yang ada? Apakah
tidak berani melerai atau memang sengaja membiarkan masyarakat bertindak
seperti itu?. Maka dari itu, perlu adanya ketegasan dalam menghadapi fenomena
yang terjadi di masyarakat terhadap adanya tindakan main hakim sendiri.
Metode
Pengumpulan data
Dalam proses
pengumpulan data, penulis menggunakan dua model pencarian data yang sering
digunakan dalam penelitian kualitatif yakni metode wawancara dan observasi.
Wawancara dilakukan kepada beberapa masyarakat yang melakukan praktek serta
pandangan masyarakat umum terhadap praktek tersebut. Dua kelompok narasumber
ini dipilih karena untuk mengukur sejauh mana para pelaku dan masyarakat umum
memandang dari persepsi personal mereka terhadap praktik main hakim sendiri yang
sering terjadi di masyarakat.
Sedangkan observasi digunakan untuk mengetahui fakta hukum dan fakta sosial praktek main hakim sendiri yang
termasuk dalam fenomena kerawanan sosial.
Dari pembuatan dan
penulisan artikel ini penulis juga menggunakan metode studi pustaka yaitu salah
satu metode yang digunakan dalam penulisan Karya Tulis (artikel ilmiah) dengan
cara mengumpulkan literatur baik berasal dari berbagai buku dan mencari
inti-inti pembahasan hukum main hakim sendiri. Sehingga menjadi sebuah bahasan
yang menarik pada artikel ini.
Kemudian
data yang diperoleh dari rangkaian penelitian dari hasil studi lapangan, maupun dari hasil studi pustaka, kemudian dikumpulkan,
diklasifikasi, dan dianalisa. Analisa data yang sudah ada akan dilakukan dengan
menggunakan metode deskriptif analisis yaitu menggambarkan data-data yang ada
atau fakta yang ditemukan di lapangan dikaitkan dengan teori-teori dan
Peraturan Perundangan dalam Hukum Positif yang menyangkut permasalahan hukum tentang
tindakan main hakim sendiri.
Kontekstualisasi Aturan Hukum
Menganalisis dari hasil
wawancara dan observasi penulis, bahwasannya para warga melakukan praktek main
hakim sendiri karena mereka sudah jengkel melihat maling yang tidak jera-jera
melakukan tindakan kejahatan pidana (pencurian).
Seperti ungkapan salah satu warga saat melakukan wawancara “kalo saya lihat
malingnya tak gerebek itu orang! Biar takut sama warga sini dan gak berani
mencuri lagi di Kec.
Sukun ini. Sudah lapor polisi tapi tidak ada tindakan apa-apa
dari polisi. Daipada repot-repot lapor mending langsung saja kita yang
bertindak.” Ungkapnya. (Alfin-45th, 15/11/2015).
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa masyarakat
berperilaku demikian? Tidak mampukah peraturan hukum sebagai sarana kontrol sosial
mencegah tindakan main hakim sendiri? artikel ini akan menguak fenomena perilaku main hakim
sendiri dari aspek sosiologis.
Penyimpangan atau ketidaksesuaian yang terjadi
dalam masyarakat ini, dalam teori sosiologi disebut sebagai anomie (Durkheim, 1964).
Yaitu suatu keadaan dimana niali-nilai dan norma-norma semakin tidak jelas lagi dan kehilangan
relevansinya. Tindakan main hakim sendiri, dengan demikian dapat dikategorikan
sebagai anomie, atau dalam kasus main hakim sendiri ini terjadi ketidaksesuaian
dalam penerapan fungsi hukum dengan tujuan yang diinginkan oleh masyarakat. Pelaksanaan fungsi
hukum yang dilaksanakan oleh lembaga
hukum dipadang oleh masyarakat belum memenuhi rasa keadilan masyarakat,
sehingga masyarakat menjalankan hukumnya sendiri. Berlarutnya penyelesaian
berbagai kasus pelanggaran hukum yang tanpa ujung telah menghilangkan
kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan perangkat hukum.
Fenomena pengesampingan hukum yang terwujud
dalam main hakim sendiri bisa dianggap wajar manakala masyarakat yang melakukannya belum
memiliki pengetahuan terhadap hukum, maupun masyarakat yang memiliki hukum adat
tersendiri tentang penghakiman terhadap pencuri. Sebaliknya, fenomena tersebut
akan dianggap tidak wajar manakala dilakukan oleh masyarakat yang telah mengetahui
hukum maupun masyarakat yang tidak memiliki hukum adat penghakiman terhadap
pencuri. Masyarakat Jl. Candi VI C, Gg. Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki
Kec. Sukun, Kab/Kota Malang merupakan
masyarakat yang telah memiliki pengetahuan hukum. Sosialisasi perkembangan
hukum dan perundang-undangan yang baru senantiasa dilakukan melalui
pertemuan-pertemuan tingkat RT hingga tingkat kelurahan. Apabila melihat
faktor-faktor penyebab terjadinya main hakim sendiri di Jl. Candi VI C, Gg.
Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki Kec. Sukun, Kab/Kota Malang, secara
tidak langsung mengindikasikan adanya maksud untuk “menciptakan” hukum
tersendiri yang akan membuat takut pihak-pihak yang akan melakukan pencurian di
wilayah Jl. Candi VI C, Gg. Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki Kec. Sukun, Kab/Kota
Malang.
Hal ini sekaligus
mengindikasikan ada anggapan bahwa hukum yang telah diberlakukan dalam
perundang-undangan, yakni KUHP, belum mampu menciptakan keamanan dan
ketentraman bagi masyarakat (Kec. Sukun-khususnya) dari aksi pencurian. Jaminan
keamanan dan ketentraman yang dimaksud tidak hanya sebatas pada aspek pemberian
sanksi kepada pelaku pencurian yang tertangkap sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan semata, namun juga efek jera dan takut bagi pihak yang akan
melakukan pencurian. Sehingga dengan
adanya realisasi keamanan dan ketentraman akan dapat menjadi jaminan
tercapainya harapan-harapan masyarakat terhadap keamanan hak-haknya. Namun
apabila realisasi hukum sebagai jaminan keamanan dan ketentraman terhadap
masyarakat kurang atau bahkan tidak sesuai dengan harapan masyarakat, maka yang
akan terjadi adalah tidak adanya kepercayaan terhadap efek keberadaan hukum di
masyarakat itu sendiri.
Akibatnya, sebagaimana
telah disebutkan di atas adalah masyarakat akan berusaha untuk “menciptakan”
ancaman tersendiri bagi pihak yang berniat melakukan gangguan keamanan di
lingkungan masyarakat Jl. Candi VI C, Gg. Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki
Kec. Sukun, Kab/Kota Malang, Malang. Menurut penulis, selain faktor tidak
adanya harmonisasi antara realisasi tujuan hukum dengan harapan masyarakat,
main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat juga mengindikasikan belum
maksimalnya pemberlakuan hukum secara menyeluruh.
Sejak abad 19, tepatnya oleh Roscoe Pound,
harmonisasi hukum merupakan idaman dari para ahli hukum. Harmonisasi tersebut
adalah terwujudnya hukum dalam perundang-undangan dan dalam pelaksanaan di
masyarakat.[1] Hukum atau peraturan pada dasarnya berlaku dan
diberlakukan untuk siapapun. Dalam suatu hukum sudah ada ketentuan-ketentuan
yang mengatur batas-batas tindak pidana serta sanksi-sanksinya. Pada fenomena
main hakim sendiri yang
terjadi di Jl. Candi VI C, Gg. Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki Kec. Sukun, Kab/Kota
Malang idealnya
secara hukum tidak boleh dilakukan. Hal ini dikarenakan pada ranah hukum yang
ada di Indonesia, khususnya KUHP, telah ada ketentuan yang mengatur perlakuan
yang harus diterima oleh pelaku pencurian yang tertangkap. Ketentuan yang
tertuang dalam KUHP tidak ada satupun pasal yang membolehkan adanya hukuman
secara langsung bagi pelaku tindak pidana, termasuk kepada pelaku pencurian. Hukum yang berlaku di masyarakat memiliki fungsi yang sama yang bertujuan
untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman
masyarakat.[2]
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa
dalam lingkup
keberadaan hukum, terdapat dua hal yang dapat menyebabkan timbulnya main hakim
sendiri terhadap pelaku pencurian di Jl. Candi VI C, Gg.
Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki Kec. Sukun, Kab/Kota Malang. Kedua hal
itu adalah: pertama, adanya asumsi masyarakat tentang tidak maksimalnya
upaya hukum sebagai media penjamin keamanan dan ketentraman masyarakat yang
diindikasikan dengan meningkatnya frekuensi pencurian; kedua, tidak
adanya tindakan hukum terhadap masyarakat yang terlibat dalam main hakim
sendiri. Dua hal
tersebut seakan menjadi satu kesatuan yang dapat saling mendukung adanya main
hakim sendiri oleh masyarakat.
Ancaman Pidana Bagi Pelaku
Main Hakim Sendiri
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (2008)[3],
main hakim sendiri diartikan sebagai menghakimi orang lain tanpa mempedulikan
hukum yang ada (biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan, pembakaran,
dsb).
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia belum ada
undang-undang khusus yang mengatur tentang perbuatan main hakim sendiri. Namun,
bukan berarti undang-undang atau KUHP yang ada sama sekali tidak digunakan
apabila ada fenomena masyarakat seperti itu. Dalam konteks
pembicaraan ini kita melihat bagaimana ketentuan hukum pidana mengatur mengenai
pembelaan diri seseorang menghadapi kejahatan yang menimpa. Apakah tewasnya
sang tersangka dapat dijustifikasi hukum?
Sesuai dengan
rumusan itu, pembelaan diri tidak boleh melampaui batas yang ditentukan,
kecuali apa yang ditetapkan dalam ayat (2) dari pasal yang sama, yang berbunyi,
"Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu
sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan terguncang dengan segera pada saat
itu juga, tidak boleh dihukum". Pasal 49 KUHP mengatur mengenai apa yang
dikenal dalam hukum pidana sebagai bela paksa (ayat 1) dan bela paksa lampau
batas (ayat 2). Dengan menggunakan dasar penghapus pidana pada pasal itu, orang
yang terpaksa melukai pencuri (misalnya) dapat tidak dipidana asal tindakan itu sesuai
dengan unsur-unsur bela paksa tersebut.
R. Soesilo (1988) menyatakan bahwa[4]
orang dapat mengatakan bahwa dirinya dalam "keadaan darurat” dan tidak
dapat dihukum itu harus dapat memenuhi tiga syarat;
Pertama, perbuatan itu harus terpaksa untuk
mempertahankan (membela). Pertahanan atau pembelaan itu haruslah amat perlu,
boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Harus ada keseimbangan antara pembelaan
yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti
misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain. Bila penyerang
dapat dibuat tidak berdaya misalnya, berarti pembelaan dengan kekerasan itu
tidak dapat dipandang sebagai bela paksa.
Kedua, pembelaan itu hanya dapat dilakukan terhadap
kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal 49 itu, yaitu badan,
kehormatan (dalam arti seksual) dan barang (harta) diri sendiri maupun orang lain.
Ketiga, harus ada serangan yang melawan hak dan
mengancam dengan sekonyong-konyong atau ketika itu juga. Jika, misalnya seorang
pencuri dan barangnya telah tertangkap, sehingga orang tidak boleh membela
dengan memukuli pencuri itu, karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan
sama sekali dari pihak pencuri.
Aturan mengenai dasar penghapus pidana itu juga
dikenal dalam hukum pidana negara-negara lain. Dengan aturan-aturan tersebut
sebenarnya hukum pidana memberi suatu sarana normatif kebolehan seseorang
membela diri dari suatu serangan yang melawan hukum atau suatu tindak pidana.
Namun, tentu saja agar hal itu tidak dilakukan secara semena-mena dan
melecehkan hukum serta hak asasi setiap orang, hukum pidana juga memberi
batasan normatif dengan menyebut syarat-syaratnya.
Jadi, jika kita melihat semata-mata secara
hukum positif, sehingga sindrom main hakim sendiri yang ramai terjadi dan tidak
jarang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang (yang mungkin saja bukan pelaku
sesungguhnya), itu sudah tidak memenuhi ketentuan lagi.
Namun, persoalannya tentu tidak sesederhana
itu, sebab kita juga perlu melihat lebih jauh pada akar persoalan di dalam
kehidupan sosial masyarakat. Berbagai faktor eksternal juga berpengaruh.
Misalnya kekurang berdayaan petugas dalam melumpuhkan aksi-aksi penjahat,
ketidakmampuan sistem peradilan pidana menurunkan atau menekan angka kejahatan,
kekurang efektifan lembaga peradilan dalam membuktikan kesalahan pelaku atau kekurang
berhasilan lembaga pemasyarakatan dalam meresosialisasi.
Dalam
Undang-Undang no. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 4 dan 33 ayat
(1) yang di mana apabila kedua pasal tersebut disimpulkan bahwa perbuatan main
hakim sendiri merupakan suatu tindakan yang bersifat melawan hukum juga dan
melanggar hak asasi manusia.
Dalam hal terjadinya tindakan main hakim
sendiri, bagi korban tindakan tersebut dapat melaporkan kepada pihak yang
berwenang antara lain atas dasar ketentuan-ketentuan berikut:[5]
Pasal 351 KUHP
tentang Penganiayaan
Dalam
penjelasan Pasal 351 KUHP oleh R. Sugandhi, penganiayaan diartikan sebagai
perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau
luka.
Hal ini dapat
diancamkan atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan terhadap orang yang
mengakibatkan luka atau cidera.
Pasal 170 KUHP
tentang Kekerasan
Dalam
penjelasan Pasal 170 KUHP oleh R. Sugandhi, kekerasan terhadap orang maupun
barang yang dilakukan secara bersamat-sama, yang dilakukan di muka umum seperti
perusakan terhadap barang, penganiayaan terhadap orang atau hewan, melemparkan
batu kepada orang atau rumah, atau membuang-buang barang sehingga berserakan.
Hal ini dapat
diancamkan atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan di depan umum.
Pasal 406 KUHP
tentang Perusakan
Dalam
penjelasan Pasal 406 KUHP oleh R. Sugandhi, perusakan yang dimaksud
mengakibatkan barang tersebut rusak, hancur sehingga tidak dapat dipakai lagi
atau hilang dengan melawan hukum.
Dengan demikian, bagi korban tindakan main
hakim sendiri dapat melapor pada pihak kepolisian atas dasar
ketentuan-ketentuan tersebut di atas.
Implikasi dari adanya tindakan melawan hukum
adalah adanya
pemberian sanksi kepada pihak yang telah melakukan perbuatan melawan hukum. Hal
ini mengandung arti bahwa masyarakat yang terlibat dalam main hakim sendiri
harus dikenakan sanksi akibat perbuatan mereka. Dalam KUHP, penganiayaan diatur
dalam Pasal 351 hingga 358 dengan klasifikasi perbuatan, akibat, aspek
perencanaan dan keikutsertaan dalam tindak penganiayaan. Keberadaan pasal-pasal tersebut, idealnya dapat
menjadi dasar perlu adanya proses pemeriksaan masyarakat yang terlibat dalam
main hakim sendiri oleh pihak berwajib. Namun demikian, hal itu urung dilaksanakan oleh
pihak berwajib kepada masyarakat yang terlibat dalam main hakim sendiri. Bahkan meskipun telah
jelas diberitakan dalam media massa tentang main hakim sendiri yang dilakukan
oleh masyarakat. Mereka (masyarakat yang terlibat) tidak pernah diproses secara
hukum. Maka sangat wajar jika kemudian main hakim sendiri tersebut diulang
kembali oleh masyarakat pada waktu yang lain.
PENUTUP
Simpulan
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh
masyarakat kurang sesuai atau bahkan bertentangan dengan ketentuan dalam KUHP. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa main hakim sendiri yang dilakukan oleh
masyarakat Jl. Candi VI C, Gg. Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki Kec. Sukun, Kab/Kota
Malang dapat disebut
sebagai suatu tindakan melawan (ketentuan) hukum. Memang pelaku pencurian yang
tertangkap tangan telah jelas statusnya sebagai pelaku tindak pidana. Akan
tetapi dalam ranah hukum pelaku pencurian tetap memiliki hak, termasuk dalam
proses pembuktian.
Artinya, pelaku pencurian tetap harus
diperlakukan dalam konteks ketentuan hukum yang berdasar pada asas praduga
tidak bersalah dan tidak dapat dikenakan hukuman apapun sebelum adanya suatu
putusan hakim terkait dengan tindak pidana yang telah dilakukannya.
Bahwa dalam melakukan perbuatan, yang terpaksa
dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan
kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari serangan
yang melawan hukum dan mengancam serta memukuli pencuri dengan segera pada saat
itu juga, tidak boleh dihukum.
Dalam perlakuan main hakim sendiri telah
melanggar hak asasi manusia dan juga dapat diancam dengan tindak pidana KUHP.
Berdasarkan
hasil penelitian penulis menyimpulkan beberapa hal yang terkait dengan topik
permasalahan yang diangkat yaitu, antara lain sebagai berikut:
Pertama, Secara Sosiologis diperoleh data bahwa faktor penyebab
utama dari tindakan Main Hakim Sendiri itu adalah:
(a) Supaya
pelaku pencurian tidak
melakukan perbuatan lagi atau pelaku kejahatan yang pernah melakukan perbuatan serupa
menjadi jera.
(b)
Masyarakat
tidak lagi mempercayai upaya Hukum yang dilakukan oleh pihak Kepolisian.
(c) Karena
ikut-ikutan saja, ketika melihat massa secara anarkhis dan membabi buta
menghajar pelaku, mereka ikut-ikutan.
(d)
Perbuatan
pencurian sudah sangat meresahkan masyarakat.
Kedua,
Kendala-kendala yang dialami pihak Kepolisian dalam menanggulangi kejahatan
Main Hakim Sendiri, antara lain adalah:
1.
Tidak
adanya laporan mengenai tertangkapnya pelaku oleh massa.
2.
Tidak
adanya laporan mengenai adanya tindakan Main Hakim Sendiri.
3.
Letak
TKP yang jauh dari markas Kepolisian, khususnya di Wilayah Hukum Polsek Kec. Sukun.
4.
Tidak
ada masyarakat yang mau memberikan keterangan (saksi) terhadap Tindakan
Main Hakim Sendiri.
5. Ruang
tahanan yang kurang memadai untuk tempat tahanan dalam perkara yang melibatkan
massa.
6.
Minimnya
anggota Kepolisian setingkat Polsek.
Saran
Salah
satu wujud dan tanggung jawab moral penulis terhadap upaya penegakan Hukum
terutama dalam rangka penanggulangan kasus tindakan Main Hakim Sendiri oleh
massa, maka penulis menyarankan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:
a.)
Hendaknya masyarakat menyadari bahwa
tindakan Main Hakim Sendiri, sesungguhnya adalah merupakan tindakan kejahatan,
sehingga diharapkan masyarakat agar sadar dan tidak segan-segan untuk
melaporkan tindakan kejahatan Main Hakim Sendiri kepada Petugas Kepolisian,
jika terjadi kasus tersebut(Main Hakim Sendiri).
b.)
Untuk
menghindari rasa takut agar segera masyarakat untuk melaporkan kasus Main Hakim
Sendiri, kepada Petugas Kepolisian, dan hendaknya pihak Kepolisian memberikan
perlindungan serta jaminan kepada si pelapor.
c.)
Dalam
rangka memperlancar proses penyidikan terutama penahanan para tersangka,
hendaknya kepolisian memperhatikan pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana
penunjang seperti perluasan ruang tanahan sehingga dapat menampung tahanan
dalam jumlah yang besar.
Saran untuk berbagai instansi pemerintah untuk
selalu menyosialisasi tentang kejadian main hakim sendiri dan ancaman tindak
pidana jika ada terjadi hal demikian. Juga saran untuk masyarakat untuk selalu
membuka mata agar tidak selalu memukuli para pencuri. Mereka juga punya hak
untuk membela diri dari tuduhan apalagi adanya praduga tak bersalah.
DAFTAR
PUSTAKA
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,
Jakarta: Rajawali, 1987.
“Main Hakim Sendiri.” Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
Edisi Keempat. Edisi 4. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, 1980.
Dirdjosisworo, Sudjono, Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali, 1983.
Tanpa Nama, Pidana Bagi Pelaku Main Hakim
Sendiri, 2012, http://www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 01 Desember 2015 pukul 16.43 WIB.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van
Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)
[3] Kamus Besar
Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Edisi 4. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
[4]
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, 1980.
[5] Tanpa Nama, Pidana Bagi Pelaku Main Hakim Sendiri, 2012, http://www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 01 Desember 2015 pukul 16.43 WIB.