Selasa, 08 Desember 2015

Sosiologi Hukum

AKSI MASYARAKAT DALAM MENANGGAPI
FENOMENA KERAWANAN SOSIAL DENGAN TINDAKAN
MAIN HAKIM SENDIRI (eigenrichting)




Disusun untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah
Sosiologi Hukum
yang diampu oleh Bapak Miftahus Sholehudin, M.HI.






disusun oleh:
Siti Maryam (14220106)







 







JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UINVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015


 __________________________________________________________________________________



Siti Maryam (14220106)
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail: sitimaryam5696@gmail.com


ABSTRAK: Aktivitas warga masyarakat dalam menanggapi fenomena kerawanan sosial mencakup banyak hal, seperti meningkatkan siskamling, ronda dan membentengi perumahan atau pemukiman dengan tembok-tembok yang tinggi dan membayar warga yang telah menjaga keamanan kampung atau pemukiman. Pembahasan ini sangat penting untuk mengetahui seperti apa respon warga masyarakat dalam menanggapi fenomena kerawanan sosial yang dihadapi. Hasil penelitian yang dilakukan melalui media komunikasi wawancara, dengan adanya pengawasan dan penjagaan yang ketat akan mengantisipasi terjadinya kerawanan sosial seperti pencurian dan lain seba gainya. Sebab, terjadinya pencurian ataupun asusila dikarenakan warga masyarakat juga yang kurang tegas dalam mengatur keamanan masyarakat.

Kata Kunci: Aktivitas warga, fenomena, masyarakat, kerawanan, sosial, main hakim sendiri.

Sebagaimana diketahui, bahwa dewasa ini semakin banyak tindakan dan perbuatan main hakim sendiri khususnya di negara indonesia ini. Dengan demikian, perlu adanya tindakan warga masyarakat dalam menanggapi fenomena kerawanan sosial tersebut. Dari sini perlu kita rumuskan apa sebab-sebab timbulnya fenomena kerawanan sosial tersebut dan tindakan warga dalam menanggapinya.

Kadang, fenomena di atas juga terjadi bukan karena warga lalai atau kurangnya pengawasan dilingkungan, tetapi pelaku kejahatan tersebut nekat dan bahkan sampai membunuh siapa saja yang menghalangi tujuannya. Faktor inilah yang memicu adanya tindakan main hakim sendiri dari warga masyarakat. Dalam kondisi seperti itulah kita mendapati tindakan warga dalam memperketat keamanan yang tegas terhadap penjarah, seperti dalam berita-berita yang sering menampilkan adanya para warga yang memukuli pelaku kejahatan, bahkan ada maling yang belum sempat mencuri tetapi sudah ketahuan tetap saja dipukuli sampai babak belur bahkan meninggal.

Di saat seperti itu, kemanakah perginya penegak hukum yang ada? Apakah tidak berani melerai atau memang sengaja membiarkan masyarakat bertindak seperti itu?. Maka dari itu, perlu adanya ketegasan dalam menghadapi fenomena yang terjadi di masyarakat terhadap adanya tindakan main hakim sendiri.

Metode Pengumpulan data

Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan dua model pencarian data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif yakni metode wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan kepada beberapa masyarakat yang melakukan praktek serta pandangan masyarakat umum terhadap praktek tersebut. Dua kelompok narasumber ini dipilih karena untuk mengukur sejauh mana para pelaku dan masyarakat umum memandang dari persepsi personal mereka terhadap praktik main hakim sendiri yang sering terjadi di masyarakat. Sedangkan observasi digunakan untuk mengetahui fakta hukum dan fakta sosial praktek main hakim sendiri yang termasuk dalam fenomena kerawanan sosial.

            Dari pembuatan dan penulisan artikel ini penulis juga menggunakan metode studi pustaka yaitu salah satu metode yang digunakan dalam penulisan Karya Tulis (artikel ilmiah) dengan cara mengumpulkan literatur baik berasal dari berbagai buku dan mencari inti-inti pembahasan hukum main hakim sendiri. Sehingga menjadi sebuah bahasan yang menarik pada artikel ini.

Kemudian data yang diperoleh dari rangkaian penelitian dari hasil studi lapangan, maupun dari hasil studi pustaka, kemudian dikumpulkan, diklasifikasi, dan dianalisa. Analisa data yang sudah ada akan dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif analisis yaitu menggambarkan data-data yang ada atau fakta yang ditemukan di lapangan dikaitkan dengan teori-teori dan Peraturan Perundangan dalam Hukum Positif yang menyangkut permasalahan hukum tentang tindakan main hakim sendiri.

Kontekstualisasi Aturan Hukum

Menganalisis dari hasil wawancara dan observasi penulis, bahwasannya para warga melakukan praktek main hakim sendiri karena mereka sudah jengkel melihat maling yang tidak jera-jera  melakukan tindakan kejahatan pidana (pencurian). Seperti ungkapan salah satu warga saat melakukan wawancara “kalo saya lihat malingnya tak gerebek itu orang! Biar takut sama warga sini dan gak berani mencuri lagi di Kec. Sukun ini. Sudah lapor polisi tapi tidak ada tindakan apa-apa dari polisi. Daipada repot-repot lapor mending langsung saja kita yang bertindak.” Ungkapnya. (Alfin-45th, 15/11/2015).

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa masyarakat berperilaku demikian? Tidak mampukah peraturan hukum sebagai sarana kontrol sosial mencegah tindakan main hakim sendiri? artikel ini akan menguak fenomena perilaku main hakim sendiri dari aspek sosiologis.

Penyimpangan atau ketidaksesuaian yang terjadi dalam masyarakat ini, dalam teori sosiologi disebut sebagai anomie (Durkheim, 1964). Yaitu suatu keadaan dimana niali-nilai dan norma-norma semakin tidak jelas lagi dan kehilangan relevansinya. Tindakan main hakim sendiri, dengan demikian dapat dikategorikan sebagai anomie, atau dalam kasus main hakim sendiri ini terjadi ketidaksesuaian dalam penerapan fungsi hukum dengan tujuan yang diinginkan oleh masyarakat. Pelaksanaan fungsi hukum yang dilaksanakan oleh lembaga hukum dipadang oleh masyarakat belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, sehingga masyarakat menjalankan hukumnya sendiri. Berlarutnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hukum yang tanpa ujung telah menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan perangkat hukum.

Fenomena pengesampingan hukum yang terwujud dalam main hakim sendiri bisa dianggap wajar manakala masyarakat yang melakukannya belum memiliki pengetahuan terhadap hukum, maupun masyarakat yang memiliki hukum adat tersendiri tentang penghakiman terhadap pencuri. Sebaliknya, fenomena tersebut akan dianggap tidak wajar manakala dilakukan oleh masyarakat yang telah mengetahui hukum maupun masyarakat yang tidak memiliki hukum adat penghakiman terhadap pencuri. Masyarakat Jl. Candi VI C, Gg. Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki Kec. Sukun, Kab/Kota Malang merupakan masyarakat yang telah memiliki pengetahuan hukum. Sosialisasi perkembangan hukum dan perundang-undangan yang baru senantiasa dilakukan melalui pertemuan-pertemuan tingkat RT hingga tingkat kelurahan. Apabila melihat faktor-faktor penyebab terjadinya main hakim sendiri di Jl. Candi VI C, Gg. Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki Kec. Sukun, Kab/Kota Malang, secara tidak langsung mengindikasikan adanya maksud untuk “menciptakan” hukum tersendiri yang akan membuat takut pihak-pihak yang akan melakukan pencurian di wilayah Jl. Candi VI C, Gg. Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki Kec. Sukun, Kab/Kota Malang.

Hal ini sekaligus mengindikasikan ada anggapan bahwa hukum yang telah diberlakukan dalam perundang-undangan, yakni KUHP, belum mampu menciptakan keamanan dan ketentraman bagi masyarakat (Kec. Sukun-khususnya) dari aksi pencurian. Jaminan keamanan dan ketentraman yang dimaksud tidak hanya sebatas pada aspek pemberian sanksi kepada pelaku pencurian yang tertangkap sesuai dengan ketentuan perundang-undangan semata, namun juga efek jera dan takut bagi pihak yang akan melakukan pencurian. Sehingga dengan adanya realisasi keamanan dan ketentraman akan dapat menjadi jaminan tercapainya harapan-harapan masyarakat terhadap keamanan hak-haknya. Namun apabila realisasi hukum sebagai jaminan keamanan dan ketentraman terhadap masyarakat kurang atau bahkan tidak sesuai dengan harapan masyarakat, maka yang akan terjadi adalah tidak adanya kepercayaan terhadap efek keberadaan hukum di masyarakat itu sendiri.

Akibatnya, sebagaimana telah disebutkan di atas adalah masyarakat akan berusaha untuk “menciptakan” ancaman tersendiri bagi pihak yang berniat melakukan gangguan keamanan di lingkungan masyarakat Jl. Candi VI C, Gg. Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki Kec. Sukun, Kab/Kota Malang, Malang. Menurut penulis, selain faktor tidak adanya harmonisasi antara realisasi tujuan hukum dengan harapan masyarakat, main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat juga mengindikasikan belum maksimalnya pemberlakuan hukum secara menyeluruh.

Sejak abad 19, tepatnya oleh Roscoe Pound, harmonisasi hukum merupakan idaman dari para ahli hukum. Harmonisasi tersebut adalah terwujudnya hukum dalam perundang-undangan dan dalam pelaksanaan di masyarakat.[1] Hukum atau peraturan pada dasarnya berlaku dan diberlakukan untuk siapapun. Dalam suatu hukum sudah ada ketentuan-ketentuan yang mengatur batas-batas tindak pidana serta sanksi-sanksinya. Pada fenomena main hakim sendiri yang terjadi di Jl. Candi VI C, Gg. Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki Kec. Sukun, Kab/Kota Malang idealnya secara hukum tidak boleh dilakukan. Hal ini dikarenakan pada ranah hukum yang ada di Indonesia, khususnya KUHP, telah ada ketentuan yang mengatur perlakuan yang harus diterima oleh pelaku pencurian yang tertangkap. Ketentuan yang tertuang dalam KUHP tidak ada satupun pasal yang membolehkan adanya hukuman secara langsung bagi pelaku tindak pidana, termasuk kepada pelaku pencurian. Hukum yang berlaku di masyarakat memiliki fungsi yang sama yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat.[2]

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dalam lingkup keberadaan hukum, terdapat dua hal yang dapat menyebabkan timbulnya main hakim sendiri terhadap pelaku pencurian di Jl. Candi VI C, Gg. Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki Kec. Sukun, Kab/Kota Malang. Kedua hal itu adalah: pertama, adanya asumsi masyarakat tentang tidak maksimalnya upaya hukum sebagai media penjamin keamanan dan ketentraman masyarakat yang diindikasikan dengan meningkatnya frekuensi pencurian; kedua, tidak adanya tindakan hukum terhadap masyarakat yang terlibat dalam main hakim sendiri. Dua hal tersebut seakan menjadi satu kesatuan yang dapat saling mendukung adanya main hakim sendiri oleh masyarakat.

Ancaman Pidana Bagi Pelaku Main Hakim Sendiri

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (2008)[3], main hakim sendiri diartikan sebagai menghakimi orang lain tanpa mempedulikan hukum yang ada (biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan, pembakaran, dsb).

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang perbuatan main hakim sendiri. Namun, bukan berarti undang-undang atau KUHP yang ada sama sekali tidak digunakan apabila ada fenomena masyarakat seperti itu. Dalam konteks pembicaraan ini kita melihat bagaimana ketentuan hukum pidana mengatur mengenai pembelaan diri seseorang menghadapi kejahatan yang menimpa. Apakah tewasnya sang tersangka dapat dijustifikasi hukum?

Sesuai dengan rumusan itu, pembelaan diri tidak boleh melampaui batas yang ditentukan, kecuali apa yang ditetapkan dalam ayat (2) dari pasal yang sama, yang berbunyi, "Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan terguncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum". Pasal 49 KUHP mengatur mengenai apa yang dikenal dalam hukum pidana sebagai bela paksa (ayat 1) dan bela paksa lampau batas (ayat 2). Dengan menggunakan dasar penghapus pidana pada pasal itu, orang yang terpaksa melukai pencuri (misalnya) dapat tidak dipidana asal tindakan itu sesuai dengan unsur-unsur bela paksa tersebut. 
R. Soesilo (1988) menyatakan bahwa[4] orang dapat mengatakan bahwa dirinya dalam "keadaan darurat” dan tidak dapat dihukum itu harus dapat memenuhi tiga syarat;

Pertama, perbuatan itu harus terpaksa untuk mempertahankan (membela). Pertahanan atau pembelaan itu haruslah amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Harus ada keseimbangan antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain. Bila penyerang dapat dibuat tidak berdaya misalnya, berarti pembelaan dengan kekerasan itu tidak dapat dipandang sebagai bela paksa.

Kedua, pembelaan itu hanya dapat dilakukan terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal 49 itu, yaitu badan, kehormatan (dalam arti seksual) dan barang (harta) diri sendiri maupun orang lain. 

Ketiga, harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau ketika itu juga. Jika, misalnya seorang pencuri dan barangnya telah tertangkap, sehingga orang tidak boleh membela dengan memukuli pencuri itu, karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pencuri.

Aturan mengenai dasar penghapus pidana itu juga dikenal dalam hukum pidana negara-negara lain. Dengan aturan-aturan tersebut sebenarnya hukum pidana memberi suatu sarana normatif kebolehan seseorang membela diri dari suatu serangan yang melawan hukum atau suatu tindak pidana. Namun, tentu saja agar hal itu tidak dilakukan secara semena-mena dan melecehkan hukum serta hak asasi setiap orang, hukum pidana juga memberi batasan normatif dengan menyebut syarat-syaratnya. 

Jadi, jika kita melihat semata-mata secara hukum positif, sehingga sindrom main hakim sendiri yang ramai terjadi dan tidak jarang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang (yang mungkin saja bukan pelaku sesungguhnya), itu sudah tidak memenuhi ketentuan lagi. 

Namun, persoalannya tentu tidak sesederhana itu, sebab kita juga perlu melihat lebih jauh pada akar persoalan di dalam kehidupan sosial masyarakat. Berbagai faktor eksternal juga berpengaruh. Misalnya kekurang berdayaan petugas dalam melumpuhkan aksi-aksi penjahat, ketidakmampuan sistem peradilan pidana menurunkan atau menekan angka kejahatan, kekurang efektifan lembaga peradilan dalam membuktikan kesalahan pelaku atau kekurang berhasilan lembaga pemasyarakatan dalam meresosialisasi.

Dalam Undang-Undang no. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 4 dan 33 ayat (1) yang di mana apabila kedua pasal tersebut disimpulkan bahwa perbuatan main hakim sendiri merupakan suatu tindakan yang bersifat melawan hukum juga dan melanggar hak asasi manusia.

Dalam hal terjadinya tindakan main hakim sendiri, bagi korban tindakan tersebut dapat melaporkan kepada pihak yang berwenang antara lain atas dasar ketentuan-ketentuan berikut:[5]

Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan

Dalam penjelasan Pasal 351 KUHP oleh R. Sugandhi, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka. 

Hal ini dapat diancamkan atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan terhadap orang yang mengakibatkan luka atau cidera.

Pasal 170 KUHP tentang Kekerasan

Dalam penjelasan Pasal 170 KUHP oleh R. Sugandhi, kekerasan terhadap orang maupun barang yang dilakukan secara bersamat-sama, yang dilakukan di muka umum seperti perusakan terhadap barang, penganiayaan terhadap orang atau hewan, melemparkan batu kepada orang atau rumah, atau membuang-buang barang sehingga berserakan.

Hal ini dapat diancamkan atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan di depan umum.

Pasal 406 KUHP tentang Perusakan

Dalam penjelasan Pasal 406 KUHP oleh R. Sugandhi, perusakan yang dimaksud mengakibatkan barang tersebut rusak, hancur sehingga tidak dapat dipakai lagi atau hilang dengan melawan hukum.

Dengan demikian, bagi korban tindakan main hakim sendiri dapat melapor pada pihak kepolisian atas dasar ketentuan-ketentuan tersebut di atas.

           Implikasi dari adanya tindakan melawan hukum adalah adanya pemberian sanksi kepada pihak yang telah melakukan perbuatan melawan hukum. Hal ini mengandung arti bahwa masyarakat yang terlibat dalam main hakim sendiri harus dikenakan sanksi akibat perbuatan mereka. Dalam KUHP, penganiayaan diatur dalam Pasal 351 hingga 358 dengan klasifikasi perbuatan, akibat, aspek perencanaan dan keikutsertaan dalam tindak penganiayaan. Keberadaan pasal-pasal tersebut, idealnya dapat menjadi dasar perlu adanya proses pemeriksaan masyarakat yang terlibat dalam main hakim sendiri oleh pihak berwajib. Namun demikian, hal itu urung dilaksanakan oleh pihak berwajib kepada masyarakat yang terlibat dalam main hakim sendiri. Bahkan meskipun telah jelas diberitakan dalam media massa tentang main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat. Mereka (masyarakat yang terlibat) tidak pernah diproses secara hukum. Maka sangat wajar jika kemudian main hakim sendiri tersebut diulang kembali oleh masyarakat pada waktu yang lain.


PENUTUP
Simpulan

Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh masyarakat kurang sesuai atau bahkan bertentangan dengan ketentuan dalam KUHP. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat Jl. Candi VI C, Gg. Puskesmas Gasek No. 7 Ds. Karangbesuki Kec. Sukun, Kab/Kota Malang dapat disebut sebagai suatu tindakan melawan (ketentuan) hukum. Memang pelaku pencurian yang tertangkap tangan telah jelas statusnya sebagai pelaku tindak pidana. Akan tetapi dalam ranah hukum pelaku pencurian tetap memiliki hak, termasuk dalam proses pembuktian.

Artinya, pelaku pencurian tetap harus diperlakukan dalam konteks ketentuan hukum yang berdasar pada asas praduga tidak bersalah dan tidak dapat dikenakan hukuman apapun sebelum adanya suatu putusan hakim terkait dengan tindak pidana yang telah dilakukannya.

Bahwa dalam melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari serangan yang melawan hukum dan mengancam serta memukuli pencuri dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.

Dalam perlakuan main hakim sendiri telah melanggar hak asasi manusia dan juga dapat diancam dengan tindak pidana KUHP.

Berdasarkan hasil penelitian penulis menyimpulkan beberapa hal yang terkait dengan topik permasalahan yang diangkat yaitu, antara lain sebagai berikut:

Pertama, Secara Sosiologis diperoleh data bahwa faktor penyebab utama dari tindakan Main Hakim Sendiri itu adalah:
(a)   Supaya pelaku pencurian tidak melakukan perbuatan lagi atau pelaku kejahatan yang pernah melakukan perbuatan serupa menjadi jera.
(b)     Masyarakat tidak lagi mempercayai upaya Hukum yang dilakukan oleh pihak Kepolisian.
(c)   Karena ikut-ikutan saja, ketika melihat massa secara anarkhis dan membabi buta menghajar pelaku, mereka ikut-ikutan.
(d)     Perbuatan pencurian sudah sangat meresahkan masyarakat.

Kedua, Kendala-kendala yang dialami pihak Kepolisian dalam menanggulangi kejahatan Main Hakim Sendiri, antara lain adalah:
1.        Tidak adanya laporan mengenai tertangkapnya pelaku oleh massa.
2.        Tidak adanya laporan mengenai adanya tindakan Main Hakim Sendiri.
3.        Letak TKP yang jauh dari markas Kepolisian, khususnya di Wilayah Hukum Polsek Kec. Sukun.
4.        Tidak ada masyarakat yang mau memberikan keterangan (saksi) terhadap Tindakan Main Hakim Sendiri.
5.    Ruang tahanan yang kurang memadai untuk tempat tahanan dalam perkara yang melibatkan massa.
6.        Minimnya anggota Kepolisian setingkat Polsek.


Saran

Salah satu wujud dan tanggung jawab moral penulis terhadap upaya penegakan Hukum terutama dalam rangka penanggulangan kasus tindakan Main Hakim Sendiri oleh massa, maka penulis menyarankan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:
a.)      Hendaknya masyarakat menyadari bahwa tindakan Main Hakim Sendiri, sesungguhnya adalah merupakan tindakan kejahatan, sehingga diharapkan masyarakat agar sadar dan tidak segan-segan untuk melaporkan tindakan kejahatan Main Hakim Sendiri kepada Petugas Kepolisian, jika terjadi kasus tersebut(Main Hakim Sendiri).
b.)      Untuk menghindari rasa takut agar segera masyarakat untuk melaporkan kasus Main Hakim Sendiri, kepada Petugas Kepolisian, dan hendaknya pihak Kepolisian memberikan perlindungan serta jaminan kepada si pelapor.
c.)      Dalam rangka memperlancar proses penyidikan terutama penahanan para tersangka, hendaknya kepolisian memperhatikan pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana penunjang seperti perluasan ruang tanahan sehingga dapat menampung tahanan dalam jumlah yang besar.

Saran untuk berbagai instansi pemerintah untuk selalu menyosialisasi tentang kejadian main hakim sendiri dan ancaman tindak pidana jika ada terjadi hal demikian. Juga saran untuk masyarakat untuk selalu membuka mata agar tidak selalu memukuli para pencuri. Mereka juga punya hak untuk membela diri dari tuduhan apalagi adanya praduga tak bersalah.

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali, 1987.
“Main Hakim Sendiri.” Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Edisi 4. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, 1980.
Dirdjosisworo, Sudjono, Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali, 1983.
Tanpa Nama, Pidana Bagi Pelaku Main Hakim Sendiri, 2012, http://www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 01 Desember 2015 pukul 16.43 WIB.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)  


[1] Sudjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 8-9.
[2] Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 25-28.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Edisi 4. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
[4] Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, 1980.
[5] Tanpa Nama, Pidana Bagi Pelaku Main Hakim Sendiri, 2012, http://www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 01 Desember 2015 pukul 16.43 WIB.